Riyanto menambahkan, saat ini, menjual satu BEV lebih sulit ketimbang dua HEV. Oleh sebab itu, penjualan HEV perlu didorong, lantaran emisi dua mobil jenis ini sama seperti satu BEV.

“Saat ini, BEV mendapatkan insentif BBN dan PKB. Saya kira ini bisa dipertimbangkan juga ke hybrid, karena bisa mengurangi emisi sampai 50%. Jadi, mobil hybrid layak mendapatkan tambahan insentif,” kata Riyanto.

Menurut dia, mobil hybrid pas digunakan di era transisi menuju netralitas karbon pada 2060. Alasannya, harga BEV saat ini mahal, berkisar Rp 600-700 jutaan, sehingga pasarnya sedikit.

Memang ada BEV di bawah Rp 300 juta. Akan tetapi, mobil ini bukan untuk pembeli pertama, melainkan pembeli kedua dan ketiga.

Artinya, dia menegaskan, dengan bujet Rp 200-300 juta, besar kemungkinan mereka lebih memilih mobil ICE berkapasitas tujuh penumpang.

Dia menilai, harga HEV tujuh dan lima penumpang kini lebih mendekati ICE. Dengan demikian, hybrid bisa diandalkan untuk mengurangi emisi di era transisi.

“BEV memang bisa menurunkan emisi sesuai target pemerintah. Akan tetapi, bisakah volume penjualan BEV sesuai target pemerintah untuk mengurangi emisi?” kata dia.

Riyanto memprediksi, total penjualan mobil elektrifikasi (xEV), terdiri atas HEV, PHEV, dan BEV mencapai 182 ribu unit atau setara 14,8% pasar dengan berbagai macam insentif fiskal pemerintah pada 2025.

Dari jumlah itu, porsi terbesar adalah HEV sebanyak 104 ribu unit, PHEV 327 unit, sedangkan BEV hanya 77 ribu unit.

Kemudian, penjualan mobil elekrifikasi mencapai 591 ribu unit, terdiri atas HEV 387 ribu unit, BEV 202 ribu unit, dengan porsi pasar 31,8% pada 2030. Artinya, jumlah itu masih jauh di bawah target pemerintah.