JAKARTA, beritaapm.com – Pemerintah memastikan insentif mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) impor dalam bentuk completely built up (CBU) tidak akan diperpanjang. Artinya, fasilitas bebas bea masuk dan PPnBM untuk mobil listrik impor bakal resmi berhenti pada akhir Desember 2025.

Kebijakan ini sesuai dengan aturan di Peraturan Menteri Investasi No. 6/2023 jo. No. 1/2024, yang memang hanya memberi ruang insentif impor BEV dalam rangka tes pasar dengan syarat adanya komitmen investasi.

Seberapa Besar Insentifnya?

Lewat skema ini, mobil listrik impor CBU tadinya hanya perlu bayar 12% pajak dari total kewajiban 77%. Diskon pajaknya tembus 65% berkat:

  • Bea Masuk (BM) 0% dari tarif normal 50%
  • PPnBM 0% dari tarif normal 15%

Insentif ini berlaku sejak Februari 2025, tapi pengajuan hanya bisa dilakukan hingga 31 Maret 2025, dengan masa berlaku sampai 31 Desember 2025. Setelah itu, insentif dipastikan berakhir.

Syarat TKDN Makin Ketat

Bukan sekadar pajak ringan, insentif ini sebenarnya mengikat produsen lewat komitmen produksi lokal sesuai roadmap Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN).

  • 2024–2026: minimal 40% TKDN
  • 2027–2028: naik jadi 60%
  • 2030: target 80%

Kalau gagal penuhi komitmen produksi 1:1, pemerintah berhak klaim bank garansi yang sudah disetorkan pabrikan.

Siapa Saja Pemainnya?

Beberapa merek besar ikut skema ini, mulai dari BYD, Aion, Vinfast, Geely, Citroen, VW, Xpeng, hingga Ora. Untuk program produksi lokal sesuai TKDN, ada nama Wuling, Chery, Hyundai, MG, dan Citroen.

Sejauh ini, sudah ada investasi baru sekitar Rp 15 triliun dengan rencana kapasitas produksi tambahan 305 ribu unit. Beberapa brand bahkan sudah bangun pabrik, misalnya BYD Auto Indonesia dan Vinfast Automobile Indonesia.

Efek ke Pasar dan Industri Lokal

Tak bisa dipungkiri, insentif ini bikin adopsi mobil listrik melonjak. Data Kemenperin mencatat, populasi kendaraan listrik di Indonesia tembus 207 ribu unit pada 2024, naik 78% dibanding 2023. Pangsa pasar BEV bahkan sudah hampir 10% di 2025, jauh lebih tinggi dari hanya 0,08% di 2021.

Tapi ada sisi lain industri otomotif konvensional (ICE) justru terpukul. Utilisasi produksi mobil turun dari 73% jadi 55%, banyak perusahaan komponen terpaksa melakukan PHK, dan penjualan mobil domestik juga ikut turun.

Menurut Gaikindo, insentif besar untuk BEV impor memang berhasil mengangkat penjualan, tapi di sisi lain membuat pabrikan lokal dengan TKDN tinggi merasa dirugikan.

Akademisi: Harus Ada Keseimbangan

Kalangan akademisi pun menilai, insentif impor BEV sebaiknya tidak diperpanjang. Alasannya sederhana: manfaat ekonominya kecil, karena lebih banyak mendorong perdagangan ketimbang industri manufaktur.

“Kalau insentif impor terus diperpanjang, Indonesia hanya jadi pasar, bukan pusat produksi,” ujar Riyanto, peneliti LPEM UI.

Sebagai gantinya, ia merekomendasikan kebijakan fiskal berbasis emisi dan TKDN. Artinya, insentif harus lebih besar untuk kendaraan yang benar-benar menyumbang pengurangan emisi dan punya dampak besar ke ekonomi dalam negeri.

Apa Artinya untuk Konsumen?

Bagi konsumen, akhir insentif ini berarti harga mobil listrik impor bisa naik lagi setelah 2025. Di sisi lain, jika pabrikan asing serius membangun pabrik di Indonesia, harga BEV buatan lokal berpotensi lebih kompetitif.

Pemerintah berharap, skema insentif ini jadi batu loncatan agar Indonesia bukan cuma pasar, tapi juga basis produksi mobil listrik untuk regional.